Senin, 03 September 2012

Rachel dan Billie


Malam semakin dingin, tetapi Rachel masih terus membereskan barang-barangnya. Dia mengepaki pakaian dan barang-barang yang dirasa penting miliknya untuk meninggalkan rumah itu besok pagi. Setelah pertengkaran hebat dengan suaminya sebulan yang lalu dan gugatan cerai yang dia ajukan ke pengadilan, dia akhirnya memberanikan diri untuk meninggalkan rumah yang telah dia tempati bersama suaminya selama 10 tahun itu.
                Perceraian sekarang memang sudah biasa terjadi, tapi bukan berarti bahwa perceraian sudah tidak lagi meninggalkan rasa sakit hati, keragu-raguan, kekecewaan dan kerinduan dari bekas-bekas cinta yang pernah ada. Rachel pun mengetahui hal tersebut, tetapi kini dia merasa sudah terlalu lelah dengan suaminya. Dia merasa sudah tak ada kecocokan lagi, dan pernikahan yang telah mereka jalani bersama-sama sudah tak mungkin dipertahankan lagi.
                Suaminya, Billie, sudah meninggalkan rumah itu sejak sebulan yang lalu di hari yang sama dengan pertengkaran itu terjadi. Rachel mengusirnya secara tidak langsung dengan perkataan yang cukup kasar bahwa dia tidak ingin hidup bersama lagi dengan Billie. Dan Billie pun meninggalkan rumah tanpa mengatakan apapun dengan keadaan emosi sama seperti Rachel. Dan dia pun menghilang, entah dimana dia tinggal sekarang.
                Pertengkaran itu berawal 2 tahun yang lalu ketika putri semata wayang mereka meninggal dunia. Putri mereka, Melo, tiba-tiba jatuh sakit dan demam tinggi  dan menghembuskan napas terakhirnya 2 hari setelahnya di sebuah rumah sakit. Rachel sangat terpukul akan hal itu. Rachel terus menerus menyalahkan Billie atas kematian Melo karena ketika jatuh sakit, Billie tak ada di sisi mereka. Billie yang bekerja sebagai seorang musisi, sedang berada jauh di luar pulau bersama bandnya ketika Melo jatuh sakit. Billie hanya datang ke rumah sakit beberapa saat sebelum Melo menghembuskan napas terakhirnya.
                Awalnya, Rachel mencoba untuk tidak menyalahkan Billie atas kematian Melo. Tapi keadaan telah berubah. Sejak saat itu, perbedaan pendapat menjadi perdebatan sengit, perdebatan menjadi pertengkaran, dan di setiap pertengkaran Rachel selalu ingin menyalahkan Billie atas kematian Melo walaupun dia tak benar-banar melakukannya. Dan Billie, yang dulunya adalah pria sabar yang periang dan humoris berubah menjadi pemurung dan tertutup. Dia bahkan sering tidak pulang dan diam di studionya dengan hanya mengirim SMS memberi tahukan dia tak akan pulang tanpa alasan yang pasti. Dan setiap ditanya alasannya lewat SMS, dia tak membalas dan hanya menjawab “kerja” ketika ditanya secara langsung.
                Rachel membongkar barang-barang lamanya, dan menemukan sebuah kotak berwana merah. Dia membuka kotak itu dan menemukan 2 surat di dalamnya. Sejenak dia terdiam lalu dia membuka salah satu surat tersebut. Rachel pun tanpa sadar kembali mengingat kenangan masa lalunya.
***
10 tahun yang lalu
                Setelah kemarin lamaran Billie dan keluarganya diterima oleh Rachel dan keluarga, keluarga mereka kini berkumpul lagi untuk membicarakan tanggal pernikahannya. Rachel dan Billie sendiri tidak terlalu ambil pusing kapan akan dilaksanakannya pernikahan tersebut. Rachel dan Billie malah bercanda dan saling mengejek di ruang TV ketika keluarga mereka membicarakan pernikahan mereka.
                “Kamu tau ga?” Tanya Billie.
                “Tau apaan? Ga jelas banget sih.” Jawab Rachel cuek.
                “Kata temen-temen, kamu adalah perempuan yang terlahir dengan keberuntungan.”
                “Iyalah, kalo kamu adalah laki-laki yang lahir aja udah untung.” Ejek Rachel menyela kata-kata Billie.
                “Idiih, ngikutin kata-katanya film Avatar the Legend of Aang.” Kata Billie.
                “Hahaha.” Rachel tertawa. “emang bener anak-anak ngomong kaya gitu?” Tanya Rachel.
                “Iya bener. Tanyain aja.” Jawab Billie. “Buktinya perempuan yang hanya seperti kamu dalam waktu dekat akan menikah dengan laki-laki sekeren saya. Engga untung gimana coba? Hahahaha.
                “Yee, kirain serius.” Kata Rachel. “Justru kamu yang untung, kayanya aku harus pikir-pikir lagi deh apa bener aku harus nikah sama kamu. Hahahaha.”
                “Emang mau jadi perawan terus sampei tua? Kalo ga nikah sama saya, kamu ga akan dapet lagi laki-laki yang mau nikahin kamu. Ini juga untung saya lagi ga sadar. Kalo lagi sadar, mana mau nikahin kamu. Hahahaha.” Ejek Billie.
                “Sialan!!” Maki Rachel sambil melempar kotak plastic berwarna merah sebesar tangan ke kepala Billie. Untung Billie berhasil menghindar dan hanya kena sedikit bahunya.
                “Awww.” Billie mengelus-ngelus bahunya sambil membawa kotak yang dilemparkan oleh Rachel. “Kotak apaan nih?” Tanya Billie.
                “Mainan anak deh kayanya. Punya si Sasha, ponakan aku.” Jawab Rachel.
                Billie terdiam sambil memain-maiankan kotak itu. Dan ternyata kotak itu bisa dibuka. Spertinya kotak itu dibuat untuk menyimpan sesuatu di dalamnya.
                “Buat saya ya?” Pinta Billie.
                “Idiiih, ngambil barang punya anak kecil.” Jawab Rachel. “Punya si Sasha tuh, minta aja sama dia.”
                “Biarin.” Jawab Billie sambil menghampiri Sasha yang sedang main di teras untuk meminta kotak itu.
                “Sha, ini buat om ya? Entar dikasih maenan robot-robotan.” Rayu Billie kepada anak berumur 4 tahun itu.
                “Engga mau, Sasha kan perempuan, masa dikasih robot-robotan?” Jawab Sasha.
                “Ya udah, kamu pergi sama om aja ya. Kamu boleh jajan apa aja deh, terserah kamu.” Kata Billie.
                “Asiiiikkk.” Sasha senang.
                “Tapi jangan yang mahal-mahal ya. Terus jangan banyak-banyak juga. Haha.” Kata Billie.
                “Huuuuuhh, pelit!”Ejek Rachel yang ternyata dari tadi mendengarkan.
                “Hahahahaha.”
***
                Acara pernikahan yang berlangsung berlangsung dari tadi pagi akhirnya selesai sudah. Billie dan Rachel akhirnya bisa beristirahat setelah terus-terusan berdiri untuk menyalami banyak tamu yang hadir di pernikahan mereka. Meskipun begitu, mereka sangat senang karena banyak yang hadir dan mendo’akan pernikahan mereka.
                Billie masuk kamar setelah beristirahat sambil nonton TV dan merokok di ruang keluarga. Rachel yang sedang ganti baju kaget dan langsung menutupi tubuh bagian atasnya yang hanya memakai pakaian dalam.
                “Heh, sialan! Ketuk pintu dulu dong kalo mau masuk.” Maki Rachel. “Keluar dulu sana! Lagi ganti baju nih.”
                “Apaan sih?! Sama suami sekeren ini, ngomongnya kasar banget. Hahahaha.” Jawab Billie sambil tertawa. “Kalo kamu mau jadi istri yang baik, bicaranya yang halus dong. Lagian kan kita udah jadi suami-istri. Ga usah malu kali. Hahahaha.”
                “Apaan sih?! udah sana cepet keluar deh.” Kata Rachel sambil terus menutupi tubuhnya.
                “Engga mau.” Jawab Billie sambil cengengesan. “Saatnya malam pertama. Eng-ing- eng. Kamu udah siap kan Rach. Hahaha.” Billie semakin menjadi-jadi sambil berjalan mendekati Rachel dengan tangan yang terbuka seperti akan menangkap Rachel.
                “Sialan! Sana keluar ih!” Jerit Rachel sambil bersiap dengan kuda-kuda yang seperti akan menendang Billie.
                “Hahahaha. Iya, iya deh. Dasar.” Jawab Billie sambil keluar kamar.
                Tak lama kemudian, Rachel keluar dari kamar dan duduk di sebelah Billie nonton TV. Mereka pun terdiam untuk beberapa saat sampai Billie tiba-tiba berdiri lalu mengacak-acak rambut Rachel.
                “Ih, baru juga disisir nih.” Kata Rachel sambil mengahalangi tangan Billie yang sedang mengacak-acak rambutnya.
                “Hahahaha. Dengerin deh, saya mau ngomong sama kamu.” Kata Billie.
                “Kalo mau ngomong, ngomong aja. Biasanya juga ga tau malu, ga diajak ngobrol aja suka ikut nimbrung.” Jawab Rachel.
                “Hahaha.” Billie tertawa. “Kita bikin surat yu.” Ajak Billie.
                “Surat apaan? Suka aneh-aneh deh”
                “Ya, kamu bikin surat tentang keinginan dan harapan kamu tentang saya, perasaan kamu, apa aja deh buat saya. Entar saya juga buat surat buat kamu.” Jawab Billie.
                “Idiiih, engga ah, malu. Lagian kan tinggal ngomong, ga usah pake surat.” Jawab Rachel.
                “Yeee, kita ga akan baca suratnya sekarang. Kita simpen di kotak merah yang dari si Sasha. Dibacanya entar aja.” Jawab Billie.
                “Terus kapan bacanya? Emang buat apa sih?” Tanya Rachel.
                “Ya nanti, kalo suatu saat kita ribut besar dan engga ada yang mau ngalah. Mungkin kita bakal diem-dieman. Nah, kalo itu terjadi, kita baca surat-surat ini. Siapa tau bisa mengingatkan kita tentang perasaan kita, dan alesan kenapa kita menikah dan sebagainya. Selain karena hal itu, kita ga boleh baca suratnya, kecuali salah satu dari kita meninggal duluan. Gimana?” Billie menerangkan.
                “Apaan sih? Emang kamu mau ngajak ribut?” Tanya Rachel.
                “Ya engga, tapi kan suami-istri itu pasti suatu saat akan ribut. Nah, kalo sampei kita ribut gede, kan jadi ada yang ngingetin. Tapi kita berdo’a aja supaya kita ga sampai ngebaca surat itu ketika kita berdua masih hidup.” Billie menerangkan.
                “Ohh, ya udah deh. Ayo.” Jawab Rachel.
                Setelah beberapa lama, merekapun selesai menulis surat masing-masing dan menyimpannya dalam kotak merah tersebut. Mereka lalu menyimpan kotak merah itu di dalam lemari bersama barang-barang dan foto-foto kenangan mereka dan teman-teman mereka.
                “Udah tuh. Sekarang apa lagi?” Tanya Rachel.
                “Saatnya malam pertama. Hahahaha.” Jawab Billie.
                Duaakk!! Rachel melempar sebuah buku tipis ke tubuh Billie lalu berlari ke dalam kamar. “Dasar otak ngeres!! Weeee!!! Hahahhaha.” ejek Rachel.
                Billie pun langsung mengejar Rachel sambil tertawa.
***
                Rachel membuka surat yang ditulis oleh Billie. Surat itu dilipat dengan rapih dengan tulisan ‘untuk istriku tercinta, Rachel.’ Didepan suratnya. Rachel pun mulai membacanya.

Assalamu alaikum warahmatuLLAHI wabarokatuH
Dear Rachel,
Seperti yang udah kita sepakati, mungkin ketika kamu membaca surat ini, kamu lagi sebel banget sama saya. Marah banget, sampai ngerasa kamu ga akan pernah bisa maafin saya. Atau (tanpa rasa PD yang berlebihan, hahaha.) kamu lagi kangen-kangennya sama saya, karena ternyata saya dipanggil oleh Tuhan lebih dulu. Tapi yang jelas ketika saya nulis surat ini, saya engga lagi kesel atau marah sama kamu. Saya nulis surat ini ketika saya sedang mencintai kamu dengan setulusnya seperti biasa. Seperti saya sangat mencintai kamu di hari-hari yang lalu, sekarang dan akan datang.
Rachel sayang, meskipun kamu kadang-kadang nyebelin, (atau mungkin sering ya? Hahaha.) saya sangat mencintai kamu, saya sangat peduli sama kamu, walaupun mungkin saya ga ngomong sesering saya bisa. Dan saya rasa perasaan itu ga akan berubah, meskipun mungkin nanti kita merasa sifat kita berubah atau kita merasa kita sudah tak saling mencintai lagi.
Saya juga mau mengingatkan dan memohon dengan sangat, maafkan saya. Maaf karena segala kesalahan yang telah saya buat, atau yang mungkin akan saya buat yang membuat kamu sangat marah. Ketika saya melakukan kesalahan itu, mungkin saya tidak bermaksud untuk melakukannya atau saya sedang khilaf. Yang jelas, kamu harus maafin saya ya. Kamu kan baik. Hahahaha.
Saya tau, sering kali saya bertingkah sangat nyebelin (atau kadang-kadang ya? Kayanya kadang-kadang deh. Hahahaha.) Bahkan lebih nyebelin daripada kamu. Hahaha. Tapi sebenernya dalam hati saya, saya ga mau kamu ngerasa sebel, marah, sedih atau apapun, apalagi karena saya. Saya sih maunya kamu senang, bahagia, sehat dan semua hal yang baik pokonya. Tapi, karena semua orang punya hati dan pikiran yang berbeda, mungkin saya bisa melakukan hal yang membuat kamu sebel, marah atau sedih. Seperti yang udah saya katakan, mungkin saya dalam keadaan emosi, khilaf atau ga sadar. Jadi maafin ya.
Rachel yang baik, jika suatu hari kita bertengkar hebat, dan kamu membaca surat ini, kamu pasti sudah diingatkan oleh surat ini. Jadi, saya mohon, ingatkan juga saya kalo saya benar-benar mencintai kamu dan menyayangi kamu, meskipun nanti mungkin kamu masih sebel sama saya.
Rachel yang cantik (hahahaha, saya jadi malu sendiri kalo saya muji kamu.), kalo saya meninggal duluan, kamu juga harus maafin kesalahan-kesalahan saya dan mengikhlaskan kepergian saya. Jangan lupa dido’ain, hahahaha.
Kalo suatu hari kita harus berpisah, baik karena kesalahan yang saya buat atau saya meninggal duluan, kamu harus bisa tegar ya. Kalo bisa membuat kamu bahagia, carilah laki-laki yang lebih baik dari saya, yang bisa kamu cintai lebih dari saya (meskipun ga sekeren saya, haahahhaa.), yang bisa ngejaga kamu. Inget, harus lebih baik!! Hahahaha. Bukan karena saya mau kamu jadi istri orang lain. Tapi karena mungkin pada saat itu, saya sudah ga bisa atau udah gagal menjaga kamu dengan baik.
Mungkin segitu aja deh suratnya soalnya saya bingung mau nulis apalagi. Tadinya mau dibikin menyentuh dan mengharukan, tapi malah memusingkan ya?? Hahahaha. Rachel yang tersayang, I love you very much.
NB: Pas kamu baca surat ini, saya masih orang paling keren di Indonesia kan? Hahahaha.

Rachel meneteskan air mata sambil tersenyum. Dia melipat kembali surat itu dan memasukannya kedalam kotak merah yang diletakan didepannya. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Dia pun langsung mengusap air matanya sambil berjalan ke pintu.
‘Jam 11 malam, siapa orang yang bertamu jam segini?’  Pikir Rachel.
Rachel melihat lewat jendela siapa yang datang. Ternyata Mexi dan Dzikri, teman sebandnya Billie, bersama Aline, perempuan yamg memanage bandnya Billie. Rachelpun membuka pintu.
“Hai, ayo masuk.” Ajak Rachel.
“Eh iya.” Jawab Dzikri. “Billienya ada?”
Setelah mempersilahkan duduk Rachel menjawab, “Ga ada, udah lama dia ga pulang kesini. Emang kalian engga tau? Mau minum apa?” Tanya Rachel.
“Ga usah deh.” Jawab mereka.
“kita sebenernya kesini mau nyariin Billie, sekalian mau minta maaf sama kamu.” Kata Aline, to the point.
“Minta maaf? Buat?” Tanya Rachel bingung.
“Gini, seharusnya kita minta maaf sama kamu udah dari dulu, tapi kita sangat malu dan ga berani ngomong sama kamu. Tapi kita denger kamu udah ngajuin gugatan cerai sama Billie. Kita mau ngejelasin aja, siapa tau bisa jadi pertimbangan buat kamu. Billie pernah cerita kalo hubungannya sama kamu berjalan tidak baik. Hal ini dimulai sejak kematian anak kalian, Melo.”
“Kamu mungkin nyalahin Billie karena dia ga segera datang ketika Melo sakit. Tapi sebenernya itu salah kami. Billie udah siap untuk cancel 3 acara yang di Kalimantan itu untuk segera pulang, tapi kami memaksa Billie untuk tetap ngelanjutin tour kita. Soalnya MOU yang kita sepakati menyebutkan kita akan kena penalty untuk membayar ganti rugi jika kita mengcancel gigs-gigs tersebut, dan harganya ga murah. Kita juga ga mungkin maen tanpa Billie. Salahnya kami juga, karena Billie bilang Melo demam, kami jadi meremehkan penyakit itu dan membujuk Billie agar professional dan tetap main, karena kami menganggap paling sehari-dua hari juga demamnya akan turun.” Mexi menjelaskan panjang lebar.
“Jadi, kami harap kamu bisa mempertimbangkan kembali gugatan kamu itu. Kalo kamu mau marah dan benci sama kami, kami akan menerimanya, dan kami sangat menyesal dan meminta maaf.” Kata Dzikri.
“Kami kesini juga tanpa sepengetahuan Billie. Tapi kami harap kami bisa ngebantu.” Tambah Aline.
Rachel terdiam. Dia merasa marah, sedih, dan menyesal. Dia bingung sekali harus berkata apa sekarang.
“Tapi Billie ga pernah bilang gitu ko?” Tanya Rachel.
“Billie itu sangat menyayangi kamu dan Melo. Tanpa kamu menyalahkan dia pun, dia sendiri terus menyalahkan dirinya sendiri karena kematian Melo. Billie merasa bersalah pada Melo dan kamu, dia butuh seseorang buat ngebantu dia. Dan kami ternyata ga cukup menolong untuk dia. Kami rasa hanya kamu yang bisa nolong dia.” Jawab Mexi.
Rachel kembali terdiam. Sejenak, ruangan itu tampak hening dan tak lama kemudian mereka pun pamit pulang dengan perasaan tak enak tapi cukup lega karena telah mengatakan yang sebenarnya.
Rachel terus terjaga sampai shubuh karena terus memikirkan dan mencoba mencerna apa yang telah terjadi.
‘Adilkah aku karena terus menyalahkan Billie atas kematian Melo, ketika Billie sama sedihnya denganku? Bahkan mungkin lebih, karena aku terus menambah penderitaannya dengan terus menyalahkannya.’  Pikir Rachel.
“Dari awal, seharusnya aku harus bisa mengikhlaskan kepergian Melo dan tidak melakukan ini semua. Kami harus memperbaiki semua ini dan mulai lagi dari awal.” Gumam Rachel sambil bergegas membongkar kembali isi tasnya dan menyimpan kembali ke tempat semula.
Setelah selesai menyimpan pakaian-pakaiannya ke lemari, Rachel mengambil handphonenya da membuka phonebook dan mencari nama ‘lovely husband’. Lalu dia langsung menelepon Billie.
“Assalamu alaikum.” Terdengar suara Billie di ujung telepon.
“Wa alaikum salam. Dimana kamu?” Tanya Rachel. “Cepat pulang, aku mau ke pasar. Ga ada yang jaga rumah.”
“hah?” Billie bingung.
“Selain jaga rumah, kamu juga harusnya ngejaga aku kan?” Kata Rachel.
Mereka pun terdiam. Terdengar suara Billie menangis, meskipun tak jelas.
“Maafkan saya.” Billie memulai pembicaraan lagi.
“Maafkan aku juga. Cepat pulang. Sekarang juga ya.” Kata Rachel.
“Iya. I love you.” Jawab Billie langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Rachel.
Lalu Rachel mengetik SMS untuk Billie yang bertuliskan ‘Sialan! Ga punya sopan-santun nutup telepon seenaknya. Awas aja nanti pas nyampe rumah. Hahahaha. I love you too.’
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar